Setiap pelantikan pejabat atau profesi tertentu, pengangkatan ‘sumpah’ sudah menjadi kewajiban. Di pengadilan, ada yang disebut ‘sumpah pemutus’.
Usai diganjar hukuman 8 tahun penjara, terdakwa Anas Urbaningrum ‘menantang’ hakim dan jaksa untuk bermubahalah. Sumpah mubahalah secara umum adalah sumpah kutukan. Anas meminta hakim dan jaksa untuk mengucapkan sumpah kutukan agar siapa yang salah akan tertimpa kutukan. Hakim Haswandi tak merespon tantangan itu, jaksa Yudi Kristiana tak mau keluar dari substansi hukum. “Kami bicara hukum dan keadilan,” kata Yudi.
Sumpah memang dikenal dalam agama. Dalam hukum nasional juga. Buktinya, setiap pelantikan pejabat, anggota DPR misalnya, diikuti dengan sumpah jabatan. Advokat, notaris, dokter juga mengangkat sumpah. Tetapi sumpah seperti yang dimintakan Anas jarang terjadi dalam perkara pidana. Sumpah bukanlah alat bukti yang dikenal dalam hukum pidana. Mengapa? “Jika terdakwa dibolehkan bersumpah, ia akan dapat terlalu mudah meluputkan diri dari penghukuman,” tulis mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. R. Subekti, dalam bukunya Hukum Acara Perdata (1989: 118).
Lain pidana, lain pula perdata. Hukum acara perdata yang masih berlaku saat ini, HIR dan Rbg, memasukkan sumpah sebagai alat bukti. Pasal 1929-1945 KUH Perdata alias Burgerlijk Wetboek (BW) juga mengatur sumpah. Bahkan dalam hukum acara perdata, kata Prof. Retnowulan Sutantio (2005: 85) ‘merupakan alat bukti yang cukup penting’. Tetapi, apa sebenarnya sumpah itu, dan sumpah yang bagaimana yang bisa diterima sebagai alat bukti?
Sumpah, menurut Prof. Sudikno Mertokusumo (1999: 155) adalah pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu member janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang member keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum Tuhan. Jadi, kata Prof. Sudikno, sumpah adalah tindakan yang bersifat religious yang digunakan di pengadilan.
Sumpah dapat dimintakan oleh salah satu pihak berperkara kepada lawannya, bisa pula diperintahkan oleh hakim. Sumpah itu bisa berupa janji melakukan sesuatu (promissoir eed), atau sumpah untuk meneguhkan benar tidaknya sesuatu (confirmatoir eed, atau sumpah assertoir eed). Sumpah yang diucapkan saksi atau ahli sebelum memberikan keterangan atau pendapat masuk kategori sumpah promissoir.
HIR menyebutkan tiga jenis sumpah sebagai alat bukti, yaitu sumpah pelengkap, sumpah pemutus, dan sumpah penaksiran (Sudikno Mertokusumo, 1999: 155).
Sumpah pemutus
Yahya Harahap (2006: 750) mengartikan sumpah pemutus (decisoir eed) sebagai sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas dasar pengucapan atau pengangkatan sumpah.
Sumpah pemutus disebut Prof. Subekti sebagai ‘senjata pamungkas’ atau senjata terakhir bagi salah satu pihak yang tidak mengajukan suatu pembuktian. Ia merupakan senjata yang mudah dipakai, tetapi juga berbahaya bagi yang menggunakannya. Kalau pihak lawan berani ambil resiko bersumpah, maka orang yang meminta pengangkatan sumpah itu akan kalah. Sumpah bisa menjadi senjata makan tuan (1989: 119).
Sumpah pemutus diatur dalam Pasal 156 HIR, 183 Rbg, dan 1930 KUHPerdata. Pihak yang minta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, pihak yang harus bersumpah disebut delaat.
Menurut R. Tresna (2005: 136), melalui pengaturan ini kedua belah pihak dimungkinkan menarik kembali perselisihannya dari tangan hakim dan mempersilakan lawan mengangkat sumpah, lalu menggantungkan penyelesaian perkaranya dari persumpahan itu.
Waktu pengajuan dan sikap hakim
Pasal 1930 ayat (2) KUH Perdata menyebutkan sumpah pemutus dapat diajukan pada setiap tahap persidangan. Ini mengandung arti yang sangat luas, bisa di tingkat pengadilan pertama bisa juga pada tingkat banding.
Tresna (2005: 137) berpendapat hakim tidak boleh menolak permintaan penyumpahan itu. Tetapi si hakim wajib mempertimbangkan banyak hal. Hakim harus bisa memperkirakan sumpah akan membawa pada penyelesaian kasus, atau sumpah itu memastikan benar tidaknya sesuatu yang dipersengketakan. Hakim tidak boleh menolak jika permintaan sumpah itu sudah memenuhi syarat.
Syarat formil sumpah pemutus, menurut Yahya Harahap (2006: 753-755), adalah: tidak ada bukti apapun; inisiatif berada pada pihak yang memerintahkan; dan mengenai suatu perbuatan yang dilakukan sendiri. Jika sudah memenuhi syarat, maka hakim harus menentukan apakah sumpah pemutus mengenai perbuatan pribadi, dan hakim juga berwenang menentukan rumusan sumpah.
Menurut Prof. R. Soepomo (2002: 61), sumpah pemutus bermaksud untuk menyelesaikan perkara. Karena itu jika seseorang sudah angkat sumpah sesuai permintaan lawan maka ia tidak boleh lagi disuruh mengadakan alat bukti lain demi kebenaran apa yang dia ucapkan dalam sumpah. Karena itu pula, sumpah pemutus adalah alat bukti yang menentukan (beslissiend bewijs).
Perbuatan kedua belah pihak
Pada dasarnya seseorang diminta melakukan sumpah pemutus atas perbuatan yang dilakukan sendiri, bukan yang dilakukan orang lain. ‘Harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang diminta bersumpah,” tulis Prof. R. Soepomo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (2002).
Bagaimana jika perbuatan itu dilakukan kedua belah pihak yang bersengketa? Dalam hal ini berlakukah ketentuan Pasal 1933 KUH Perdata mengenai pengembalian beban sumpah. Artinya, orang yang sejak awal meminta lawannya bersumpah bisa dimintakan sebaliknya untuk bersumpah. Pengembalian ini bisa terjadi jika pihak yang diminta pertama bersumpah tidak mau melaksanakan. Yahya Harahap (2006: 759) menegaskan ‘tidak boleh mengembalikan pengucapan sumpah pemutus atas perbuatan sepihak’.
Jika tergugat enggan mengangkat sumpah dan meminta balik penggugat mengangkat sumpah, maka bisa berakibat kekalahan jika penggugat mau mengangkat sumpah pemutus dimaksud. Sebaliknya, jika penggugat menolak bersumpah, padahal sebelumnya ia sudah meminta tergugat bersumpah, maka penggugat kalah.
Putusan Mahkamah Agung No. 39K/Sip/1951 menyinggung sumpah pemutus atau penentu. Majelis kasasi menyatakan hakim banding melanggar Pasal 156 HIR, dan memerintahkan kepada pengadilan tinggi untuk memberikan kesempatan kepada tergugat asal/terbanding mengucapkan sumpah penentu. Jika tergugat menolak, pengadilan tinggi harus member kesempatan kepada penggugat asal untuk mengucapkan sumpah pemutus tersebut (Ali Boediarto, 2005: 167).
Melepaskan hak
Dalam pengucapan sumpah ini, yang dilepaskan adalah hak. Hak yang sudah dalam kekuasaan dilepaskan jika kalah karena sumpah. Misalnya hak untuk menagih hutang, dan hak untuk mendapatkan barang. Karena itu, Retnowulan Sutantio (2005: 92), berpendapat sumpah pemutus tidak dapat dimohonkan dalam persoalan menyangkut ada atau tidaknya zina atau benar tidaknya seseorang sebagai ayah biologis yang dikandung seorang perempuan.
Jadi, sumpah pemutus harus benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan. Dalam hukum perdata ini disebut litis decisoir. Apabila sumpah yang dimohonkan tidak bersifat litis decisoir, hakim harus melarang pembebanan sumpah tersebut. Mengapa demikian? Subekti berargumen ‘karena tidak membawa akibat yang dikehendaki, yaitu mengakhiri atau memutus perkara yang sedang berlangsung’ (1989: 120).
Namanya saja sumpah pemutus, maka sumpah itu harus benar-benar memutuskan perselisihan. Putusan Mahkamah Agung No. 294K/Sip/1971 memuat kaedah hukum sumpah penentu. Tergugat dalam persidangan telah menyangkal kebenaran dalil gugatan penggugat, sedangkan penggugat tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan dalil gugatannya. Karena itu, kesediaan tergugat untuk mengucapkan sumpah penentu dalam persidangan berakibat dalil sangkaan tergugat dinilai telah terbukti dan gugatan penggugat dinyatakan ditolak hakim (Chaidir Ali. 1999: 133-147, Ali Boediarto 2005: 170).
Referensi
Kajian lebih lanjut mengenai sumpah pemutus ini dapat dilihat dalam buku R. Subekti (Hukum Acara Perdata, 1989); M. Yahya Harahap (Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan Pengadilan, 2006); Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata (Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, 2005); R. Soepomo (Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, 2002); R. Tresna (Komentar HIR, 2005); Sudikno Mertokusumo (Hukum Acara Perdata Indonesia, 1999); dan Abdul Manan (Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, 2006).
Referensi mengenai putusan yang relevan bisa dilihat dari buku M. Ali Boediarto, (Kompilasi Kaidah Hukum Putusan MA Hukum Acara Perdata Masa Setengah Abad, 2005), dan Chaidir Ali (Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, 1999).