RSS

Category Archives: bahasa hukum

Sumpah Pemutus

Setiap pelantikan pejabat atau profesi tertentu, pengangkatan ‘sumpah’ sudah menjadi kewajiban. Di pengadilan, ada yang disebut ‘sumpah pemutus’.

Usai diganjar hukuman 8 tahun penjara, terdakwa Anas Urbaningrum ‘menantang’ hakim dan jaksa untuk bermubahalah. Sumpah mubahalah secara umum adalah sumpah kutukan. Anas meminta hakim dan jaksa untuk mengucapkan sumpah kutukan agar siapa yang salah akan tertimpa kutukan. Hakim Haswandi tak merespon tantangan itu, jaksa Yudi Kristiana tak mau keluar dari substansi hukum. “Kami bicara hukum dan keadilan,” kata Yudi.

Sumpah memang dikenal dalam agama. Dalam hukum nasional juga. Buktinya, setiap pelantikan pejabat, anggota DPR misalnya, diikuti dengan sumpah jabatan. Advokat, notaris, dokter juga mengangkat sumpah. Tetapi sumpah seperti yang dimintakan Anas jarang terjadi dalam perkara pidana. Sumpah bukanlah alat bukti yang dikenal dalam hukum pidana. Mengapa? “Jika terdakwa dibolehkan bersumpah, ia akan dapat terlalu mudah meluputkan diri dari penghukuman,” tulis mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. R. Subekti, dalam bukunya Hukum Acara Perdata (1989: 118).

Lain pidana, lain pula perdata. Hukum acara perdata yang masih berlaku saat ini, HIR dan Rbg, memasukkan sumpah sebagai alat bukti. Pasal 1929-1945 KUH Perdata alias Burgerlijk Wetboek (BW) juga mengatur sumpah. Bahkan dalam hukum acara perdata, kata Prof. Retnowulan Sutantio (2005: 85) ‘merupakan alat bukti yang cukup penting’. Tetapi, apa sebenarnya sumpah itu, dan sumpah yang bagaimana yang bisa diterima sebagai alat bukti?

Sumpah, menurut Prof. Sudikno Mertokusumo (1999: 155) adalah pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu member janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang member keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum Tuhan. Jadi, kata Prof. Sudikno, sumpah adalah tindakan yang bersifat religious yang digunakan di pengadilan.

Sumpah dapat dimintakan oleh salah satu pihak berperkara kepada lawannya, bisa pula diperintahkan oleh hakim. Sumpah itu bisa berupa janji melakukan sesuatu (promissoir eed), atau sumpah untuk meneguhkan benar tidaknya sesuatu (confirmatoir eed, atau sumpah assertoir eed). Sumpah yang diucapkan saksi atau ahli sebelum memberikan keterangan atau pendapat masuk kategori sumpah promissoir.

HIR menyebutkan tiga jenis sumpah sebagai alat bukti, yaitu sumpah pelengkap, sumpah pemutus, dan sumpah penaksiran (Sudikno Mertokusumo, 1999: 155).

Sumpah pemutus

Yahya Harahap (2006: 750) mengartikan sumpah pemutus (decisoir eed) sebagai sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas dasar pengucapan atau pengangkatan sumpah.

Sumpah pemutus disebut Prof. Subekti sebagai ‘senjata pamungkas’ atau senjata terakhir bagi salah satu pihak yang tidak mengajukan suatu pembuktian. Ia merupakan senjata yang mudah dipakai, tetapi juga berbahaya bagi yang menggunakannya. Kalau pihak lawan berani ambil resiko bersumpah, maka orang yang meminta pengangkatan sumpah itu akan kalah. Sumpah bisa menjadi senjata makan tuan (1989: 119).

Sumpah pemutus diatur dalam Pasal 156 HIR, 183 Rbg, dan 1930 KUHPerdata. Pihak yang minta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, pihak yang harus bersumpah disebut delaat.

Menurut R. Tresna (2005: 136), melalui pengaturan ini kedua belah pihak dimungkinkan menarik kembali perselisihannya dari tangan hakim dan mempersilakan lawan mengangkat sumpah, lalu menggantungkan penyelesaian perkaranya dari persumpahan itu.

Waktu pengajuan dan sikap hakim

Pasal 1930 ayat (2) KUH Perdata menyebutkan sumpah pemutus dapat diajukan pada setiap tahap persidangan. Ini mengandung arti yang sangat luas, bisa di tingkat pengadilan pertama bisa juga pada tingkat banding.

Tresna (2005: 137) berpendapat hakim tidak boleh menolak permintaan penyumpahan itu. Tetapi si hakim wajib mempertimbangkan banyak hal. Hakim harus bisa memperkirakan sumpah akan membawa pada penyelesaian kasus, atau sumpah itu memastikan benar tidaknya sesuatu yang dipersengketakan. Hakim tidak boleh menolak jika permintaan sumpah itu sudah memenuhi syarat.

Syarat formil sumpah pemutus, menurut Yahya Harahap (2006: 753-755), adalah: tidak ada bukti apapun; inisiatif berada pada pihak yang memerintahkan; dan mengenai suatu perbuatan yang dilakukan sendiri. Jika sudah memenuhi syarat, maka hakim harus menentukan apakah sumpah pemutus mengenai perbuatan pribadi, dan hakim juga berwenang menentukan rumusan sumpah.

Menurut Prof. R. Soepomo (2002: 61), sumpah pemutus bermaksud untuk menyelesaikan perkara. Karena itu jika seseorang sudah angkat sumpah sesuai permintaan lawan maka ia tidak boleh lagi disuruh mengadakan alat bukti lain demi kebenaran apa yang dia ucapkan dalam sumpah. Karena itu pula, sumpah pemutus adalah alat bukti yang menentukan (beslissiend bewijs).

Perbuatan kedua belah pihak

Pada dasarnya seseorang diminta melakukan sumpah pemutus atas perbuatan yang dilakukan sendiri, bukan yang dilakukan orang lain. ‘Harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang diminta bersumpah,” tulis Prof. R. Soepomo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (2002).

Bagaimana jika perbuatan itu dilakukan kedua belah pihak yang bersengketa? Dalam hal ini berlakukah ketentuan Pasal 1933 KUH Perdata mengenai pengembalian beban sumpah. Artinya, orang yang sejak awal meminta lawannya bersumpah bisa dimintakan sebaliknya untuk bersumpah. Pengembalian ini bisa terjadi jika pihak yang diminta pertama bersumpah tidak mau melaksanakan. Yahya Harahap (2006: 759) menegaskan ‘tidak boleh mengembalikan pengucapan sumpah pemutus atas perbuatan sepihak’.

Jika tergugat enggan mengangkat sumpah dan meminta balik penggugat mengangkat sumpah, maka bisa berakibat kekalahan jika penggugat mau mengangkat sumpah pemutus dimaksud. Sebaliknya, jika penggugat menolak bersumpah, padahal sebelumnya ia sudah meminta tergugat bersumpah, maka penggugat kalah.

Putusan Mahkamah Agung No. 39K/Sip/1951 menyinggung sumpah pemutus atau penentu. Majelis kasasi menyatakan hakim banding melanggar Pasal 156 HIR, dan memerintahkan kepada pengadilan tinggi untuk memberikan kesempatan kepada tergugat asal/terbanding mengucapkan sumpah penentu. Jika tergugat menolak, pengadilan tinggi harus member kesempatan kepada penggugat asal untuk mengucapkan sumpah pemutus tersebut (Ali Boediarto, 2005: 167).

Melepaskan hak

Dalam pengucapan sumpah ini, yang dilepaskan adalah hak. Hak yang sudah dalam kekuasaan dilepaskan jika kalah karena sumpah. Misalnya hak untuk menagih hutang, dan hak untuk mendapatkan barang. Karena itu, Retnowulan Sutantio (2005: 92), berpendapat sumpah pemutus tidak dapat dimohonkan dalam persoalan menyangkut ada atau tidaknya zina atau benar tidaknya seseorang sebagai ayah biologis yang dikandung seorang perempuan.

Jadi, sumpah pemutus harus benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan. Dalam hukum perdata ini disebut litis decisoir. Apabila sumpah yang dimohonkan tidak bersifat litis decisoir, hakim harus melarang pembebanan sumpah tersebut. Mengapa demikian? Subekti berargumen ‘karena tidak membawa akibat yang dikehendaki, yaitu mengakhiri atau memutus perkara yang sedang berlangsung’ (1989: 120).

Namanya saja sumpah pemutus, maka sumpah itu harus benar-benar memutuskan perselisihan. Putusan Mahkamah Agung No. 294K/Sip/1971 memuat kaedah hukum sumpah penentu. Tergugat dalam persidangan telah menyangkal kebenaran dalil gugatan penggugat, sedangkan penggugat tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan dalil gugatannya. Karena itu, kesediaan tergugat untuk mengucapkan sumpah penentu dalam persidangan berakibat dalil sangkaan tergugat dinilai telah terbukti dan gugatan penggugat dinyatakan ditolak hakim (Chaidir Ali. 1999: 133-147, Ali Boediarto 2005: 170).

Referensi

Kajian lebih lanjut mengenai sumpah pemutus ini dapat dilihat dalam buku R. Subekti (Hukum Acara Perdata, 1989); M. Yahya Harahap (Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan Pengadilan, 2006); Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata (Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, 2005); R. Soepomo (Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, 2002); R. Tresna (Komentar HIR, 2005); Sudikno Mertokusumo (Hukum Acara Perdata Indonesia, 1999); dan Abdul Manan (Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, 2006).

Referensi mengenai putusan yang relevan bisa dilihat dari buku M. Ali Boediarto, (Kompilasi Kaidah Hukum Putusan MA Hukum Acara Perdata Masa Setengah Abad, 2005), dan Chaidir Ali (Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, 1999).

 
Leave a comment

Posted by on October 13, 2014 in bahasa hukum

 

Tags: ,

‘Disparitas Putusan’ dan ‘Pemidanaan yang Tidak Proporsional’

Disparitas putusan hakim pidana adalah masalah yang telah lama menjadi pusat perhatian kalangan akademisi, pemerhati dan praktisi hukum. Disparitas putusan dianggap sebagai isu yang mengganggu dalam sistem peradilan pidana terpadu, dan praktek disparitas tak hanya ditemukan di Indonesia. Ia bersifat universal dan ditemukan di banyak negara.

Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan penilaian masyarakat terhadap peradilan. Ia dapat dilihat sebagai wujud ketidakadilan yang mengganggu. Tetapi apa sebenarnya disparitas putusan itu? Dalam bukunya Sentencing and Criminal Justice (2005: 72), Andrew  Ashworth mengatakan disparitas putusan tak bisa dilepaskan dari diskresi hakim menjatuhkan hukuman dalam suatu perkara pidana.

Di Indonesia, disparitas hukuman juga sering dihubungkan dengan independensi hakim. Model pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan (perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga wajib mempertimbangkan sifat bak dan jahat pada diri terdakwa.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo (2003: 7) menyatakan disparitas putusan berkenaan dengan perbedaan penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas.

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan. Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas. Misalnya, ada dua orang yang melakukan tindakan pencurian dengan cara yang sama dan akibat yang hampir sama. Meskipun hakim sama-sama menggunakan pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang dijatuhkan berbeda.

Namun independensi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bukan tanpa batas. Eva Achjani Zulfa, dalam buku Pergeseran Paradigma Pemidanaan  (2011: 33), mengatakan ada asas nulla poena sine lege yang memberi batas kepada hakim untuk memutuskan sanksi pidana berdasarkan takaran yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun ada takaran, masalah disparitas akan tetap terjadi karena jarak antara sanksi pidana minimal dan maksimal dalam takaran itu terlampau besar.

Proses pembentukan peraturan perundang-undangan ikut berpengaruh karena ketiadaan standar merumuskan sanksi pidana. Disparitas putusan sejak awal ‘dimungkinkan’ karena aturan hukum yang disusun pemerintah dan DPR membuka ruang untuk itu.

Menghapuskan sama sekali perbedaan putusan hakim untuk kasus yang mirip tak mungkin dilakukan. Selama ini, upaya yang dilakukan adalah meminimalisir disparitas dengan cara antara lain membuat pedoman pemidanaan (sentencing guidelines). Amerika Serikat, Finlandia, Swedia dan Selandia Baru termasuk negara yang sudah mengadopsi dan menerapkan pedoman pemidanaan tersebut.

Hakim-hakim Indonesia pun sebenarnya sudah menyadari persoalan disparitas itu. Meskipun berat ringannya hukuman menjadi wewenang hakim tingkat pertama dan banding, tetapi dalam beberapa putusan, hakim agung mengoreksi vonis itu dengan alasan pemidanaan yang tidak proporsional.

Sekadar contoh bolehlah disebut putusan Mahkamah Agung  No. 662K/Pid/1992 (JPU vs Abdullah bib Tatoto dkk), dan putusan No. 1168 K/Pid/2000 (JPU vs Margono Kusuma Widagdo dan Sri Endah Soekardi). Dalam dua putusan ini, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan karena menaikkan hukuman penjara tanpa pertimbangan dan alasan yang cukup terperinci. Dalam putusan kedua, misalnya, Mahkamah Agung melihat disparitas hukuman antara yang hanya turut serta dengan pelaku utama mengedarkan uang palsu.

Rujukan lain yang menyinggung langsung pemidanaan yang tidak proporsional adalah putusan MA No. 143K/Pid/1993. Majelis hakim agung dipimpin M. Yahya Harahap mempertimbangkan bahwa pada dasarnya berat ringannya hukuman adalah kewenangan judex facti. Pemidanaan dapat menjadi kewenangan hakim tingkat kasasi jika pidana yang dijatuhkan tidak sesuai dengan cara melakukan tindak pidana dikaitkan dengan luasnya dampak yang diakibatkan perbuatan terdakwa. Begitu pula jika pidana yang dijatuhkan tidak memenuhi tujuan penegakan hukum pidana sebagai tindakan edukasi, koreksi, prevensi dan represi bagi masyarakat dan pelaku.

“Meskipun tujuan pemidanaan terhadap seseorang bukan sebagai balas dendam, namun pemidanaan tersebut harus benar-benar proporsional dengan prinsip edukasi, koreksi, prevensi dan represi,” demikian penggalan pertimbangan majelis hakim agung.

Penjatuhan hukuman yang proporsional adalah penjatuhan hukuman yang ‘sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Pada intinya, proporsionalitas mensyaratkan skala nilai untuk menimbang dan menilai berat ringannya pidana dikaitkan dengan tindak pidananya. Nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat sert5a budaya cenderung menjadi determinan dalam menentukan peringkat sanksi yang dipandang patut dan tepat dalam konteks historis tertentu (Harkrisnowo, 2003: 12). Penelusuran Harkristuti Harkrisnowo menemukan fakta bahwa asas proporsionalitas sudah dirumuskan pada kitab-kitab hukum zaman Indonesia kuno.

Menurut Eva Achjani Zulfa (2011: 37-38), ide tentang penjatuhan pidana yang proporsional berkembang menjadi gagasan untuk membuat suatu pedoman pemidanaan yang mampu mereduksi subjektivitas hakim dalam memutus perkara.

Diskresi hakim sangat mungkin disalahgunakan Sehingga pedoman pemidanaan dianggap sebagai jalan terbaik membatasi kebebasan hakim. Pedoman pemidanaan itu, kata Asworth (2005: 101), harus ‘a strong and restrictive guideline’.

KUHP sebenarnya sudah memuat sejumlah pedoman, seperti Pasal 14a, pasal 63-71, dan Pasal 30. Selain itu, RUU KUHP sudah guidelines yang wajib dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu: kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat tindak pidana, apakah tindak pidana dilakukan berencana, cara melakukan tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban atau keluarga korban, maaf dari korban/keluarga, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

(Versi lain tulisan ini pernah dimuat di hukumonline.com)

Bahan Rujukan:

Andrew Ashworth. Sentecing and Criminal Justice. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.

Eva Achjani Zulva. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Alung, 2011.

Harkristuti Harkrisnowo. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UI, 8 Maret 2003.

 
Leave a comment

Posted by on October 1, 2013 in bahasa hukum

 

Tags: , ,

Mengenal Spontane Vernietiging

Pernahkah Anda membaca kalimat berikut dalam sebuah Surat Keputusan (SK): “Jika di kemudian hari ditemukan kekeliruan, maka surat keputusan ini dapat ditinjau ulang”?

Rumusan kalimatnya mungkin tidak selalu persis sama. Tetapi rumusan semacam itu lazim dijumpai pada bagian akhir sebuah SK. Pencantuman kalimat demikian bukan tanpa dasar dan tujuan. Ini adalah upaya prevensi pejabat tata usaha negara agar tetap dibuka kemungkinan revisi terhadap keputusan (beschikking) yang telah ia buat jika belakangan ditemukan kesalahan atau kekeliruan.

Salah satu contoh yang menarik untuk dirujuk adalah Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara No. K26-30/V.201-1/99 tanggal 20 Juli 2012 tentang Pencabutan Terhadap Surat Keputusan Pengangkatan dalam Jabatan Struktural Setingkat Lebih Tinggi yang Tidak Memenuhi Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. SK ini mengakui ada masalah dalam kepuusan terdahulu sehingga perlu dikoreksi.

Perbaikan SK karena kekeliruan atau kesalahan tak perlu menunggu ada pihak ketiga yang menyampaikan komplain atau gugatan. Cukup jika si penerbit keputusan menemuka kekeliruan, ia bisa melakukan langsung perbaikan. Langkah perbaikan inilah yang sering disebut sebagai spontane vernietiging, pembatalan spontan.

Secara umum, vernietiging mengandung arti pembatalan, pemusnahan. Dalam bahasa Inggris biaa digunakan istilah annulment, nullufication, annihilation (Martin Basiang, 2009: 458). Dalam bahasa Perancis, keputusan biasanya disebut acte administratif, sedangkan di Jerman disebut Verwaltungsakt (Marbun dan Mahfud, 2006: 74)

WF Prins mengartikan keputusan sebagai tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintah berdasarkan wewenangnya yang luar biasa (1987: 38).

Pencabutan keputusan, kata Prins, sangat menarik dan bisa menimbulkan perdebatan sengit, lebih-lebih jika menyangkut pencabutan ‘berlaku surut’ yang menyebabkan ‘hak yang sudah diperoleh seolah-olah menjadi tergugat’. Perdebatannya adalah kekuatan hukum formal dan kekuatan hukum material dari pencabutan suatu keputusan. Bagi badan yang mengeluarkan keputusan, kekuatan formal pada dasarnya tidak dapat diganggu gugat, sebaliknya kekuatan material dapat diganggu gugat secara bebas (1987: 99-100)

Persyaratan

Dalam membuat suatu keputusan, harus diperhatikan syarat-syarat tertentu. Jika keputusan tak memenuhi syarat, bisa berakibat hukum tidak sah alias niet-rechtsgeldig. Keputusan yang tidak sah dapat berupa batal (nietig), batal demi hukum (nietig van rechtswege), atau dapat dibatalkan (vernietigbaar) (Safri Nugraha, 2007: 118).

Menurut Kuntjoro Purbopranoto (1981: 48), ada syarat materil dan formil yang harus dipenuhi agar suatu keputusan menjadi sah. Syarat materilnya adalah: (i) alat pemerintahan yang memuat keputusan memiliki wewenang; (ii) dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis; (iii) keputusan harus dberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan dan pembuatnya harus memperhatikan prosedur pembuatan keputusan; dan (iv) isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai.

Adapun syarat formilnya adalah: (i) syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan  dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi; (ii) harus diberi bentuk yang telah ditentukan; (iii) syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi; dan (iv) jangka waktu harus ditentukan.

Menurut WF. Prins (1987: 102-103, dan Safri Nughara dkk, 2007: 121), pencabutan keputusan harus memperhatikan enam asas, kecuali Undang-Undang dengan tegas melarang untuk mencabutnya. Asas tersebut adalah:

  • Keputusan yang dibuat karena adanya tipuan, maka setiap waktu dapat dinyatakan tidak berlaku secara ­ab-ovo (sejak awal dianggap tidak ada);
  • Keputusan yang isinya belum diberitahukan kepada yang bersangkutan, yang berarti belum melahirkan hubungan hukum, dapat dinyatakan tidak berlaku secara ab-ovo;
  • Keputusan yang menguntungan yang diberikan dengan syarat-syarat dapat dicabut bila pihak yang diuntungkan lalai memenuhi persyaratan yang ditentukan;
  • Keputusan yang menguntungkan tidak dapat dicabut setelah  jangka waktu tertentu kalau dengan pencabutan itu menyebabkan suatu keadaan yang semula sah menjadi tidak sah;
  • Jika akibat keputusan yang tidak benar terjadi keadaan yang tidak sah (misalnya keputusan gaji yang salah) keadaan tidak sah ini tiak boleh ditiadakan dengan mencabut keputusan kalau pihak yang terkena akibat pencabutan akan dirugikan;
  • Pencabutan suatu keputusan harus pula memenuhi persyaratan yang sama seperti pada waktu keputusan tersebut dibuat (asas contrarius actus).

Contoh yurisprudensi

Salah satu yurisprudensi yang sering dijadikan rujukan spontane vernietiging adalah putusan MA No. 111K/TUN/2000, yakni perkara warga Jakarta bernama Mulyo Setiawan (MS) melawan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Duta Besar Malaysia untuk Indonesia. MS menggugat Surat Keputusan Kepala BPN No. 3-XI-1999 tanggal 14 Januari 1999 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No. 3416/Bangka atas nama Mulyo Setiawan di Kel. Bangka Kec. Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Keputusan ini baru diketahui MS pada 8 Maret 1999.

MS lantas mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. Di tingkat pertama, pengadilan menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Pada Desember 1999, putusan ini dibatalkan majelis hakim tingkat banding. Gugatan penggugat dikabulkan seluruhnya. Surat Keputusan Kepala BPN dinyatakan batal.

Putusan banding ini kembali dibatalkan di tingkat kasasi. Majelis hakim kasasi (Paulus E. Lotulung, Ny. Hj. Emin Aminah Achadiat, Ny. Asma Samik Ibrajim) berpendapat ada penerapan hukum acara yang keliru dalam prosedur pengajuan banding.

Selain itu, majelis hakim membuat pertimbangan sendiri. Secara formal, majelis menyoroti pelanggaran asas-asas peradilan yang baik karena mengabaikan asas audi et alteram partem. Dari sisi substansi, menurut majelis kasasi, pengadilan banding seharusnya bukan hanya memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum Indonesia bidang pertanahan, tetapi juga hukum diplomatik.

Sesuai dengan fakta yang muncul di persidangan, masalahnya bukan mengenai sengketa kepemilikan tanah, tetapi ada kekeliruan administratif dan yuridis berupa riwayat tanah yang keliru dan data yang tidak lengkap. Oleh karena ada kekeliruan dan cacat yuridis tersebut, maka pejabat TUN bersangkutan (BPN) setelah melakukan penelitian kembali, memang dapat dan berwenang membatalkan sertifikat aquo atas inisiatif sendiri (spontane vernietiging).

Alur berpikir demikian juga sudah diterapkan Mahkamah Agung dalam putusan No. 197 K/TUN/2000 dalam kasus gugatan yang diajukan PT Yakin Gloria trhadap SK Hak Guna Bangunan tambahan No. 24/HGB/BPN91 dan pembatalan sertifikat HGB No. 7925/Sunter Agung (Gema Peratun, 2002: 7-53).

 

Rujukan

Gema Peraturan Tahun VII No. 15 Tahun 2002, hal. 7-53.

Kuntjoro Purbopranoto. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Bandung: Alumni, 1981.

Martin Basiang. The Contemporary Law Dictionary (Kamus Hukum Kontemporer). Tanpa Kota: Red &White Publishing, 2009.

SF Marbun dan Moh Mahfud MD. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty, 2006.

Safri Nugraha dkk. Hukum Administrasi Negara. Edisi Revisi. Depok: Center for Law and Good Governance Studies (CLGS) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007.

WF Prins dan R. Kosim Adisapoetra. Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.

 
Leave a comment

Posted by on August 6, 2013 in bahasa hukum

 

Tags: , ,

Transaksi Keuangan Mencurigakan

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ada istilah ‘transaksi Keuangan Mencurgikan’. Apa yang dimaksud dengan istilah tersebut?

Pasal 1 angka 5 menyebutkan Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

  1. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;
  2. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
  3. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana;
  4. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Transaksi keuangan sendiri adalah  transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, transfer, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan  dengan uang.

 
Leave a comment

Posted by on July 2, 2013 in bahasa hukum

 

Tags: ,

Yurisprudensi Tetap dan Yurisprudensi Tidak Tetap

Kita sering mendengar dalam kajian-kajian hukum dan studi kasus istilah ‘yurisprudensi tetap’ dan ‘yurisprudensi tidak tetap’. Istilah itu mungkin akan menimbulkan pertanyaan lanjutan: apa yang dimaksud dengan yurisprudensi? Apakah semua putusan hakim bisa disebut yurisprudensi? Jika tidak, putusan hakim yang bagaimana bisa masuk yurisprudensi?

Mahkamah Agung selalu menerbitkan buku yurisprudensi setiap tahun. Untuk memilih putusan yang akan diangkat dibentuk sebuah tim. Tim ini pula yang membuat catatan atas putusan tersebut. Dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung (sejak 2011) juga tercantum putusan-putusan terpilih alias landmark decision.

Yurisprudensi berasal dari bahasa Latin, ‘iuris prudential’ yang berarti ilmu hukum. Biasanya, hanya putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang dijadikan yurisprudensi, dan putusan itu diikuti hakim-hakim lain.

Hingga sekarang belum ada defisini jelas ‘yurisprudensi tetap’ dan ‘yurisprudensi tidak tetap’. Untuk dapat dikategorikan yurisprudensi harus melalui proses eksaminasi dan notasi dari Mahkamah Agung (hal. 10-11) dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.

Hasil penelitian BPHN pada 1995 menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi, apabila putusan hakim itu memenuhi unsur-unsur berikut:

  1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
  2. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap;
  3. Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;
  4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan; dan
  5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Dari pendapat dan pendirian beberapa hakim agung Mahkamah Agung, ‘yurisprudensi tetap’ adalah: putusan-putusan hakim tingkat pertama, banding, atau putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, atas perkara atau kasus yang belum jelas aturan hukumnya yang memiliki muatan keadilan dan kebenaran, telah diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang sama, putusan mana telah diuji secara akademis oleh majelis yurisprudensi di Mahkamah Agung dan telah direkomendasikan sebagai yurisprudensi tetap yang berlaku mengikat dan wajib diikuti hakim-hakim di kemudian hari’. Contoh yurisprudensi tetap adalah bunga yang tidak diperjanjikan sebesar 6 persen per tahun.

Yurisprudensi tidak tetap adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap namun belum melalui uji eksaminasi dan notasi tim Mahkamah Agung dan belum ada rekomendasi untuk menjadi yurisprudensi tetap.

Sumber: Ahmad Kamil dan M. Fauzan. Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi. Jakarta: Kencana, 2004, hal. 8-13.

 
Leave a comment

Posted by on June 4, 2013 in bahasa hukum

 

Tags: ,

Penghalusan Hukum

Dalam konsep mengkontruksi hukum dikenal istilah analogi, argumentum a contrario, dan penghalusan hukum. Ketiganya adalah cara berpikir dengan memperbandingkan.

Penghalusan hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtsverfijning, yang berasal dari lema fijn yang berarti halus. Dalam bahasa Inggris, tindakan penghalusan hukum lazim disebut refinement of the law.

Prof. Sudikno Mertokusumo (2006: 71) lebih memilih istilah penyempitan hukum. Penyempitan hukum bukan merupakan argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan. Kalau tidak dirumuskan secara halus, maka rumusan dalam peraturan perundang-undangan terlalu luas.

Penghalusan hukum sering dipandang sebagai kebalikan dari analogi (Utrecht dan Djindang, 1983: 223). Menurut tujuannya, hukum tidak boleh menyelesaikan sesuatu perkara secara tidak adil atau tidak sesuai realitas sosial. Namun kadang hakim tidak dapat menerapkan suatu ketentuan tertulis karena jika diterapkan justru menimbulkan ketidakadilan. Dalam hal demikian, hakim terpaksa mengeluarkan perkara tersebut dari lingkungan peraturan tadi, dan selanjutnya menyelesaikan perkara menurut kaidah yang ia buat sendiri. Perbuatan mengeluarkan itulah yang oleh Utrecht disebut penghalusan hukum.

Penghalusan atau penyempitan hukum diperlukan karena seringkali lingkup atau cakupan yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan terlalu luas. Hakim perlu upaya mempersempit cakupannya agar bisa diterapkan pada peristiwa konkrit. Utrecht menyebut penghalusan hukum itu ‘menyempurnakan sistem hukum’ atau ‘bermaksud memenuhi suatu ruangan kosong dalam sistem perundang-undangan’ (1983: 223)

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta (200: 119) menyatakan penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan.

Menurut Sudikno, dalam penyempitan hukum dibentuk pengecualian-pengecualian atau penyimpangan baru dari peraturan yang bersifat umum. Peraturan umum diterapkan pada peristiwa tertentu melalui penjelasan ciri-ciri.

Dalam putusan Mahkamah Agung No. 639K/Sip/1972 tanggal 26 Februari 1973, majelis hakim telah menggunakan pertimbangan rechtsverfijning untuk mengabulkan gugatan seorang ahli waris guna menjaga keutuhan warisan. Dalam perkara ini, majelis hakim –R. Sardjono, RZ Asikin Kusumah Atmadja dan Sri Widojati Wiratmo Soekito—menimbang sebagai berikut:

“Berdasarkan yurisprudensi maka salah seorang ahli waris dapat mengajukan gugatan untuk minta bagiannya dai warisan. Hal ini berarti bahwa ahli waris tersebut harus minta penetapan ahli waris dan penetapan bahwa harta sengketa adalah warisan yang belum dibagi. Pada masa sekarang sifat tertutup dari suatu desa dapat dikatakan sudah tidak ada lagi karena pengaruh hidup merantau. Banyak penduduk asli suatu desa telah pindah ke tempat lain untuk mencari nafkah dengan akibat sering terjadi perpecahan keluarga sehingga tak diketahui lagi dimana masing-masing berada. Keadaan masyarakat modern ini menimbulkan kebutuhan akan adanya suatu rechtsverfijning yang memungkinkan perlindungan hukum untuk menjaga keutuhan warisan” (Chaidir Ali, 1999: 131).

Contoh lain adalah istilah ‘perbuatan melawan hukum’ dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Istilah ini sangat luas cakupannya. Agar dapat diterapkan pada peristiwa konkrit yurisprudensi terkenal Hooge Raad dalam perkara Cohen vs Lindebaum, perbuatan melawan hukum diartikan sempit menjadi ‘berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak seseorang atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati yang seyogianya di dalam masyarakat terhadap seseorang atau benda seseorang (Sudikno, 2006: 72).

Mochtar dan Arief Sidharta memberi contoh pajak bumi dan bangunan (PBB). Dalam hal-hal tertentu si pemilik tidak punya penghasilan lain selain tanah dan bangunan. Tanah itu pun tak bisa ia garap karena ia sudah tua. Mengharuskan ia membayar PBB akan menyebabkan ketidakadilan yang lebih besar dibanding menerapkan UU PBB secara kaku.

Bahan rujukan:

  • Chaidir Ali. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia. Seri Kesatu. Yogyakarta: CV Nurcahaya, 1999.
  • E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang. Pengantar dalam Hukum Hukum Indonesia. Cet. 10. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1983.
  • Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 2000.
  • Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Cet-4. Yogyakarta: Liberty, 2006.
 
Leave a comment

Posted by on May 27, 2013 in bahasa hukum

 

Tags: ,

‘Melaksanakan Perintah Jabatan’

“Id damnum dat qui iubet dare; eius vero nulla culpa est, cui parere necesse sit”. Pertanggungjawaban tidak akan diminta dari mereka yang patuh melaksanakan perintah, melainkan kepada mereka yang memberi perintah.

Dalam sejumlah kasus yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terdakwa sering berdalih hanya melaksanakan perintah dalam jabatannya, atau melaksanakan perintah atasan. Argumentasi semacam itu dikemukakan agar terdakwa lolos dari jerat pidana.

Melaksanakan perintah jabatan merupakan salah satu alasan menghapus pidana yang dikenal dalam KUHP. Alasan penghapus pidana dalam KUHP meliputi alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond). ‘Melaksanakan perintah jabatan’ termasuk bagian dari alasan pembenar. Alasan lainnya adalah keadaan darurat (noodtoestand), pembelaan terpaksa (noodweer), dan melaksanakan perintah undang-undang. Alasan penghapus pidana juga dikenal dalam perundang-undangan di luar KUHP.

Rumusan tentang ‘perintah jabatan’ (ambtelijk bevel) diatur dalam pasal 51 KUHP. Ayat (1) pasal ini menyebutkan barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Selanjutnya, ayat (2) menyatakan perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Apa yang dimaksud ‘perintah’ dalam pasal 51 KUHP ini? Mengutip putusan Hoge Raad 17 Desember 1899 No. 6603, E. Utrecht  (1999: 377) berpendapat perintah di sini bukan saja perintah dalam arti konkrit, tetapi juga suatu instruksi yang bersifat umum.

Perintah jabatan atau ambtelijk bevel dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, dimana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijke positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah (P.A.F Lamintang, 1984: 500).

Yang penting, kata Andi Hamzah (1994: 163), perintah itu diberikan karena jabatan. Jadi, antara yang memberi perintah dan orang yang diperintah ada hubungan hukum publik. Perintah yang diberikan pejabat pekerjaan umum kepada pemborong berdasarkan hukum perjanjian tidak masuk kategori ‘perintah jabatan’. Menurut S.R. Sianturi (1996: 290), hubungan hukum itu harus menurut hukum publik. Posisi pemberi perintah harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dari hukum publik. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar bisa disebut perintah jabatan, yakni (i) ada hubungan antara pemberi perintah dengan pelaksana perintah berdasarkan hukum publik; (ii) kewenangan pemberi perintah harus sesuai dengan jabatannya berdasarkan hukum publik tersebut; dan (iii) perintah yang diberikan itu termasuk dalam lingkungan kewenangan jabatannya.

Apakah hubungan hukum itu harus atasan dengan bawahan (ondergeschiktheid) dalam hubungan kepegawaian, misalnya dekan memberi perintah kepada pembantu dekan? Utrecht (1999: 378) menulis baik yang memerintah maupun yang diperintah tidak perlu berstatus pegawai negeri. ‘Ambtelijk’ hanya berarti saja suatu hubungan menurut hukum publik. Tidak perlu juga secara hierarkis yang diperintah berada di bawah pemberi perintah.

Dalam hal ini Wirjono Prodjodikoro (1989: 87-8) berpendapat dianggap suatu perintah yakni suatu instruksi dari seorang atasan kepada semua orang bawahan tanpa menyebutkan nama orang-orang tertentu, untuk melakukan hal-hal yang tanpa instruksi itu merupakan tindak pidana. Tetapi perintah seorang polisi kepada pekerja swasta untuk membersihkan jalan yang menghalangi lalu lintas termasuk lingkup perintah yang dilindungi pasal 51 ayat (1) KUHP meskipun antara polisi dan swasta tadi bukan atasan-bawahan.

Jadi, kata Andi Hamzah (1994: 163), tidaklah perlu hubungan jabatan tersebut hubungan atasan-bawahan secara langsung. Pendapat serupa juga disampaikan penulis-penulis hukum pidana Belanda seperti Pompe dan Simons. Simons, seperti dikutip P.A.F Lamintang (1984: 501), mengatakan istilah bawahan (ondergeschikte) mencakup setiap orang kepada siapa suatu perintah diberikan. Ia tidak perlu berada dalam suatu hubungan yang tetap sebagai seorang bawahan dari orang yang memberikan perintah. Bahkan ia tidak harus seorang pegawai negeri. Akan tetapi hubungan antara orang yang menjalankan perintah dengan orang yang memberikan perintah harus bersifat hukum publik.

Bambang Poernomo (1994: 201), menambahkan hubungan antara perintah jabatan dengan pihak yang diperintah harus mempunyai hubungan hukum yang sifatnya berlaku umum, baik menurut isi peraturan maupun karena pernyataan penguasa yang berwenang.

Jamaknya, pemberi perintah dan yang diperintah ada hubungan jabatan. Tetapi hubungan jabatan itu tidak bersifat mutlak. Sebab, pasal 525 KUHP malah mengancam pidana siapapun yang diberi perintah oleh penguasa umum menolak untuk melakukan sesuatu pada saat terjadi bahaya umum atau kejahatan tertangkap tangan.

Cara dan alat yang dipakai untuk melaksanakan perintah jabatan harus sesuai. Contohnya, seorang penjual rokok tidak boleh mendapat perintah dari polisi untuk menahan seorang tersangka. Ketidaksesuaian antara perintah dengan pekerjaan dapat menyebabkan seseorang tak bisa berlindung di balik pasal 51 ayat (1) KUHP. Contohnya putusan MA No. 166 K/Kr/1963 yang menyebutkan perintah dari ketua pengadilan kepada panitera mengenai hal di luar lingkup pekerjaan si panitera bukan perintah sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat (1) KUHP (R. Soenarto Soerodibroto, 2003: 46).

Tentang alat dan cara perintah disampaikan, Jan Remmelink (2003: 254) berpendapat  perintah tersebut tidak perlu langsung diterima oleh penerima perintah. Sarana komunikasi yang biasa dipakai, termasuk sarana bantu lainya, juga dapat dipergunakan untuk menyampaikan perintah tersebut. Konteks ini berhubungan dengan konsep pendelegasian wewenang. Menurut konsep ini, si A, berdasarkan mandat yang diterimanya dari B selaku pejabat yang berwenang, dimungkinkan mengeluarkan perintah kepada orang lain atas nama B.

Kewenangan penguasa menjadi faktor lain yang harus dipertimbangkan. Artinya, pemberi perintah haruslah orang yang punya kewenangan (l’autorite legitime). Karena itu ayat (2) pasal 51 KUHP menyebut perintah jabatan yang diberikan tanpa kewenangan tidak menghapuskan pidana. Dengan demikian, penerima dan pelaksana perintah harus mengetahui bahwa perintah yang ia terima diberikan oleh pejabat yang berwenang, dan perintah itu termasuk lingkup wewenang pejabat dimaksud. Pengertian pelaksana perintah “harus mengetahui” dalam konteks ini, kata S.R. Sianturi (1996: 291) bermakna luas, yaitu menurut perhitungan yang layak atau menurut perhitungan umum ia seharusnya mengetahui.

Dengan demikian, ada dua syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaksana perintah lolos dari jerat pidana (Andi Hamzah mengutip Vos, 1994: 163; Bambang Poernomo, 1994: 201), yaitu: (i) syarat subjektif, pembuat harus dengan iktikad baik memandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang; dan (ii) syarat objektif, pelaksanaan perintah harus terletak dalam lingkup pembuat sebagai bawahan. Jadi, seorang polisi yang diperintah atasannya menyiksa tahanan tetap bisa dipidana meskipun ia menjalankan perintah itu dengan iktikad baik. Sebab, menyiksa tahanan bukan tugasnya. Bagi Andi Hamzah, pasal 51 ayat (1) adalah alasan pembenar karena unsur melawan hukum tidak ada, sedangkan pasal 51 ayat (1) adalah alasan pemaaf karena perbuatan tetap melawan hukum hanya pelaku tidak bersalah karena ia beriktikad baik menjalankan perintah pejabat yang berwenang padahal sebenarnya tidak.

Apa perbedaan ‘perintah jabatan’ dalam pasal 51 ayat (1) dan pasal 51 ayat (2) KUHP? Menurut Bambang Poernomo (1994: 201-202) perintah jabatan dalam ayat (1) perbuatannya dibenarkan karena tidak bersifat melawan hukum sebagai rechtvaardigingsgrond, sedangkan perintah jabatan dalam ayat (2), perbuatannya tetap bersifat melawan hukum sehingga tidak dipidana karena kesalahannya dihapuskan, dimaafkan.

Salah satu yurisprudensi yang sering dikutip tentang tidak berwenangnya pemberi perintah adalah putusan MA No. 181 K/Kr/1959 tertanggal 9 Februari 1959. Berdasarkan putusan ini, perintah dari pimpinan Republik Maluku Selatan (RMS) kepada terdakwa Martin Luhulima bukan merupakan perintah jabatan yang dimaksud pasal 51 KUHP. Sebab, perintah menurut pasal ini harus diberikan oleh penguasa yang berwenang untuk itu. Pimpinan RMS bukanlah penguasa umum yang berwenang untuk memerintahkan pembunuhan (Chidir Ali, 1986: 147-150).

 
Leave a comment

Posted by on July 18, 2012 in bahasa hukum

 

Tags: , , , ,

Advieserende Functie MA dalam Pemberian Grasi

Puluhan permohonan grasi masuk ke Mahkamah Agung setiap tahun. Pertimbangan Mahkamah tidak mengikat presiden.

Peraturan perundang-undangan memberikan sejumlah kewenangan kepada Mahkamah Agung. Pertama, wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa kewenangan mengadili, dan permohonan peninjauan kembali putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Ketiga, memberikan pertimbangan terhadap permohonan grasi dan rehabilitasi.

Wewenang ketiga itulah yang kini mendapat sorotan seiring kritik tajam sejumlah kalangan atas pemberian grasi kepada Schapelle Leigh Corby. Keputusan Presiden (Keppres) No. 22/G Tahun 2012 tertanggal 15 Mei 2012 memberikan ‘grace’ kepada terpidana kasus narkotika asal Australia itu. Berkat grasi presiden, hukuman Corby berkurang dari 20 tahun menjadi 15 tahun. Pengurangan hukuman juga diterima warga Jerman Peter A.F. Grobmann melalui Keppres No. 23/G Tahun 2012.

Kedua Keppres itu akhirnya digugat Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Anti Narkotika (DPP Granat) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Berkas gugatan sudah dimasukkan kuasa hukum Granat pada 7 Juni lalu. Kebijakan pemberian grasi dinilai tak sesuai dengan semangat pemberantasan narkotika.

Sebagai pihak yang memberikan pertimbangan, Mahkamah Agung ikut terseret. Nama Mahkamah Agung berkali-kali disebut dalam surat gugatan Granat. Bisa jadi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan permohonan grasi karena Mahkamah Agung membenarkan langkah hukum tersebut. Minimal, Presiden SBY memperhatikan nasihat hukum Mahkamah.

Keputusan pemberian grasi kepada Corby dan Grobmann dinilai sebagai ironi dalam kebijakan pemberantasan narkotika yang selalu didengung-dengungkan pemerintah. Termasuk oleh Mahkamah Agung, yang sudah memasukkan narkotika sebagai kejahatan yang perlu mendapat perhatian pengadilan. Dalam Surat Edaran (SEMA) No. 3 Tahun 2001, Mahkamah Agung menegaskan ‘perlu ada kesungguhan dan perhatian’ dari pengadilan atas perkara narkotika.

Wewenang Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam permohonan grasi sebenarnya amanat konstitusi. Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 merumuskan “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Dalam penjelasan rumusan pasal 14 UUD 1945 sebelum amandemen, wewenang itu dijalankan presiden selaku kepala negara. Sehingga pemberian grasi dianggap sebagai hak prerogatif presiden yang tak bisa diganggu gugat.

Rumusan senada terdapat pada pasal 35 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Disebutkan ‘Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada presiden selaku kepala negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi. Rumusan ini kemudian disesuaikan dengan amandemen UUD 1945, sehingga dalam perubahan UU Mahkamah Agung 2004, rumusan pasal 35 menjadi ‘Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi”. Tampak bahwa frasa ‘presiden selaku kepala negara’ dihapuskan.

Pemberian grasi oleh presiden dapat berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana, atau penghapusan pelaksanaan pidana. Namun sebelum membuat keputusan tentang pemberian grasi, presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Advieserende functie

Henry P. Panggabean dalam bukunya Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari (2001) menyebut pemberian nasihat hukum atau pertimbangan hukum itu sebagai fungsi penasihat bagi Mahkamah Agung. Advieserende functie ini juga dapat berupa pemberian nasihat hukum kepada lembaga-lembaga negara tertentu.

Menurut Henry, mantan hakim agung, proses penanganan grasi di Mahkamah Agung menganut dua prinsip yaitu pemberian grasi yang berorientasi pada keadilan, dan perlunya mempertimbangkan perubahan situasi. Dalam praktik sehari-hari, tulis Henry, permohonan grasi sangat sulit dikabulkan karena Mahkamah Agung terikat pada kedua prinsip tersebut.

Sayang, tak ada data akurat berapa permohonan grasi yang ditolak. Data grasi dan remisi yang dihimpun Henry pada periode Januari 1999 hingga November 2000 hanya menunjukkan sisa awal tahun 111, masuk 860, dan diselesaikan 881 perkara. Sehingga pada akhir November 2000, jumlah permohonan grasi dan remisi di Mahkamah Agung tinggal 90 perkara.

Data termutakhir dapat dilihat pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2011. Sisa awal tahun 10, masuk 64, dan berhasil diputus 57 berkas. Sehingga sisa permohonan remisi memasuki tahun 2012 adalah 17 berkas permohonan. Namun data ini tetap tak menunjukkan berapa yang disetujui dan ditolak. Sangat mungkin karena Mahkamah Agung tak mengetahui keputusan akhir presiden. Mahkamah Agung sebatas mengajukan pertimbangan hukum.

Mengikat atau tak mengikat?

Persetujuan atau penolakan permohonan grasi sepenuhnya berada di tangan presiden. Norma ini tertuang jelas dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (terakhir diubah dengan UU No. 5 Tahun 2010). Jadi, Mahkamah Agung sebatas memberikan pertimbangan hukum.

Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam bukunya ‘Komentar atas Undang-Undang Dasar 1945’ (2009), menulis pertimbangan Mahkamah Agung dimaksudkan agar presiden mendapatkan masukan dari lembaga yang tepat sesuai fungsinya. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung ‘adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai hal itu’ (grasi).  Pertimbangan itu juga dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi antar lembaga negara.

Lalu menjadi pertanyaan, apakah pertimbangan Mahkamah Agung mengikat (bindend advies) bagi presiden. Tim kuasa hukum Granat berpendapat sebelum mengeluarkan keputusan, presiden wajib memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Namun pertimbangan tersebut tidak mengikat presiden.

Pendapat senada disampaikan Prof. HM Laica Marzuki. “Yang namanya pertimbangan, itu kan diperhatikan presiden, tetapi tentu tidak mengikat,” kata mantan hakim agung itu kepada hukumonline, (12/6).

Mahkamah Agung pun memberikan penjelasan resmi serupa. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur, mengatakan presiden selalu meminta pendapat Mahkamah. Tetapi apa yang disampaikan Mahkamah Agung hanya sebatas pendapat yang sifatnya tidak mengikat. Jadi, terserah presiden untuk memutuskan, mau ikut pendapat Mahkamah Agung atau tidak.

Lagipula, dalam beberapa kasus grasi, presiden bukan hanya mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, tetapi juga Jaksa Agung dan Menteri Hukum dan HAM. Contohnya, Keppres No. 22/G Tahun 2003 yang menjawab permohonan grasi terpidana narkotika, Ayodhya Prasad Chaubey. Presiden tak mengabulkan grasi setelah menimbang surat Jaksa Agung, surat Ketua Mahkamah Agung, dan surat Menteri Kehakiman.

Dalam format Keppres pemberian grasi kepada Corby dan Grobmann pun tak disebut apa persisnya pertimbangan Mahkamah Agung. Presiden sama sekali tidak mengemukakan apa dasar pemikiran dan apa pertimbangan Mahkamah Agung untuk mengabulkan permohonan kasasi Corby. Hanya disebut ‘terdapat cukup alasan untuk memberikan grasi kepada terpidana tersebut’.

Penjelasan justru datang dari Mahkamah Agung. Dikatakan Ridwan Mansyur, faktor kemanusiaan menjadi dasar bagi Mahkamah untuk mengusulkan agar Corby diberi grasi. Ada laporan dari Ditjen Pemasyarakatan bahwa Corby sering sakit-sakitan. Mahkamah hanya memberikan pertimbangan singkat. “Biasanya dalam hal pendapat pemberian grasi itu singkat saja, lebih banyak pertimbangan presiden yang digunakan”. Apapun pertimbangan Mahkamah Agung, keputusan akhir tetap ada di tangan Presiden.

Lepas dari persoalan hukum ini, komitmen seluruh pejabat negara terhadap pemberantasan narkotika menjadi ujian. Tak terkecuali Mahkamah Agung. Sebab, Mahkamah Agung pun (seharusnya) punya semangat memberantas narkoba. Seperti tercermin dalam kalimat SEMA No. 3 Tahun 2001: “Hendaknya para hakim menganut satu pendirian, yaitu tekad untuk menjadi barisan terdepan dalam meberantas sampai ke akarnya segala bentuk kejahatan tersebut”.

 
Leave a comment

Posted by on June 15, 2012 in bahasa hukum

 

Tags: , , , ,

PPAT

Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

 

Selain PPAT dikenal pula PPAT Sementara, yaitu pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Sedangkan PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.

 

Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen yang harus disimpan dan dipeliharan PPAT, yang terdiri dari:

  1. Daftar akta;
  2. Asli akta
  3. Warkah pendukung akta;
  4. Arsip laporan;
  5. Agenda; dan
  6. Surat-surat lainnya.

 

Daerah kerja PPAT meliputi suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seseorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalamnya.

 

Eksistensi PPAT didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997. PPAT hadir karena notaris tidak pernah diberi wewenang membuat akta pemindahan hak atas tanah-tanah hak barat dan bekas hak barat, serta akta pembebasan hipotik. Berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961, setiap bentuk peralihan hak atas tanah atau pembebanan hak atas tanah harus dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk Menteri Agraria/Kepala BPN. Pejabat inilah yang kemudian dikenal sebagai PPAT.

 

 

 
Leave a comment

Posted by on April 11, 2012 in bahasa hukum

 

Tags: , ,

Gelandangan dan Pengemis

Dalam aktivitas sehari-hari kita sering mendengar istilah gelandangan, pengemis, fakir miskin, kaum papa, komunitas punk, atau orang yang luntang lantung. Apapun sebutan yang dipakai, semua istilah itu merujuk pada orang-orang yang sering lalu lalang di jalanan untuk mencari sesuap nasi.

 

Kehadiran gelandangan dan pengemis (vagabonds and beggars) tak ada hubungannya dengan himpitan dan beban ekonomi Jakarta atau kota-kota besar saat ini. Sejak zaman Belanda, orang yang menjadi gelandangan sudah dikenal. Buktinya dalam KUHP warisan kolonial dikenal norma yang menganggap gelandangan sebagai pelanggaran atas ketertiban umum.

 

Pasal 505 KUHP menyebutkan:

(1)             Barangsiapa bergelandangan tanpa mata pencaharian diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan maksimum tiga bulan;

(2)            Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur di atas 16 tahun diancamn dengan pidana kurungan maksimal enam bulan.

 

Mengenai pengemis, pasal 504 UHP menyebutkan:

(1)             Berangsiapa mengemis di muka umum diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan maksimum enam minggu;

(2)            Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur di atas 16 tahun diancam dengan pidana kurungan maksimum tiga bulan.

 

Istilah dan definisi

Tidak semua ahli hukum pidana menggunakan lema gelandangan. KUHP karya R. Soesilo (1996), misalnya, menggunakan sebutan ‘pelancongan’ atau ‘mengembara kemana-mana’. Penggunaan istilah pelancongan oleh R. Soesilo dikritik Yusrizal. Dalam tesisnya yang berjudul “Penegakan Hukum dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Suatu Tinjauan Menurut UUD 1945 dan Hukum Pidana), Yusrizal berpendapat istilah pelancongan mempunyai makna sebagai suatu kegiatan jalan-jalan untuk menikmati pemandangan atau berkunjung ke suatu tempat sebagai sarana hiburan.

 

Sebenarnya, Soesilo sudah memberi penjelasan bahwa orang yang berkeliling negeri atau dunia dengan berjalan kaki, meskipun seakan-akan bertualang, tidak masuk pasal ini karena mereka mempunyai mata pencaharian tertentu. Kunci dari pelancongan yang bisa dipidana adalah apabila petualang itu ‘tidak mempunyai mata pencaharian’ (R. Soesilo, 1996: 327).

 

Dalam perkembangannya, peraturan perundang-undangan nasional menggunakan istilah gelandangan, dan sering dipadukan dengan pengemis, sehingga dikenal istilah gepeng.

 

Salah satu peraturan yang langsung menyebut istilah gelandangan dan pengemis adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. PP ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Sosial (sudah diubah menjadi UU No. 11 Tahun 2009)

 

Pasal 1 angka 1 dan angka 2 PP merumuskan:

(1)             Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

(2)            Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

 

Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2007 merumuskan definisi lain:

(1)             Gelandangan adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal layak, pekerjaan tetap, dan hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak sepantasnya menurut aturan dan norma kehidupan masyarakat.

(2)            Pengemis adalah orang yang mencari penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan orang lain.

 

Endang Sastraatmadja, dalam bukunya Dampak Sosial Pembangunan, seperti dikutip Yusrizal, mengartikan gelandangan sebagai sekelompok masyarakat terasing, yang lebih sering ditemukan dalam keadaan tidak lazim seperti di kolong jembatan, lorong-lorong sempit, sekitar rel kereta api atau emperan toko, dan dalam hidupnya terlihat berbeda dari manusia merdeka lainnya.

 

Penanggulangan

Upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 terdiri dari upaya:

  1. Preventif
  2. Represif
  3. Rehabilitatif

 

Upaya preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan, serta pembinaan lanjutan kepada para pemangku kepentingan.

 

Upaya represif dimaksudkan untuk menghilangkan gelandangan dan pengemis, serta meluasnya keberadaan mereka di masyarakat. Upayanya meliputi: (i) razia; (ii) penampungan sementara untuk diseleksi; dan (iii) pelimpahan. Seleksi tersebut untuk menetapkan kualifikasi gelandangan untuk menentukan langkah selanjutnya, yang terdiri dari:

  1. Dilepaskan dengan syarat;
  2. Dimasukkan ke panti sosial;
  3. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halaman;
  4. Diserahkan ke proses hukum di pengadilan;
  5. Diberikan pelayanan kesehatan.

 

Upaya rehabilitatif meliputi penyantunan, pemberian diklat, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali ke daerah transmigran atau ke tengah masyarakat dalam rangka pembinaan lebih lanjut agar mereka mempunyai kemampuan untuk hidup secara layak.

 

Penanganan

Regulasi lain yang menyinggung gepeng adalah Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Perkap ini menyinggung tindakan penegakan hukum terhadap gepeng. Tindakan penegakan hukum terhadap gepeng meliputi razia, penampungan sementara untuk diklasifikasi, penyidikan, dan pelimpahan perkara ke pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.

 

Dalam hal gepeng diketahui atau diyakini terlibat dalam tindak pidana, begitu rumusan pasal 10 Perkap, “diambil alih penanganannya oleh Polri untuk diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan”.

 

Jika Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 menggunakan istilah ‘penanggulangan’, Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2007 memakai istilah lema ‘penanganan’.  Penanganan gepeng mengedepankan fungsi Bimbingan Masyarakat (Bimas) di semua level kepolisian.

 

Judicial review

Pada 29 Maret 2012, Mahkamah Konstitusi mulai menyidangkan permohonan judicial review pasal 505 KUHP. Inilah pertama kalinya pasal tentang gelandangan itu dimohon untuk diuji Mahkamah.

 

Pemohonnya adalah Debbie Agustio Pratama, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Debbie menilai pasal 505 KUHP bertentangan dengan UUD 1945, khususnya menyangkut rasa aman dan perlindungan.

 
Leave a comment

Posted by on April 9, 2012 in bahasa hukum

 

Tags: , ,