RSS

Tag Archives: punk

Gelandangan dan Pengemis

Dalam aktivitas sehari-hari kita sering mendengar istilah gelandangan, pengemis, fakir miskin, kaum papa, komunitas punk, atau orang yang luntang lantung. Apapun sebutan yang dipakai, semua istilah itu merujuk pada orang-orang yang sering lalu lalang di jalanan untuk mencari sesuap nasi.

 

Kehadiran gelandangan dan pengemis (vagabonds and beggars) tak ada hubungannya dengan himpitan dan beban ekonomi Jakarta atau kota-kota besar saat ini. Sejak zaman Belanda, orang yang menjadi gelandangan sudah dikenal. Buktinya dalam KUHP warisan kolonial dikenal norma yang menganggap gelandangan sebagai pelanggaran atas ketertiban umum.

 

Pasal 505 KUHP menyebutkan:

(1)             Barangsiapa bergelandangan tanpa mata pencaharian diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan maksimum tiga bulan;

(2)            Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur di atas 16 tahun diancamn dengan pidana kurungan maksimal enam bulan.

 

Mengenai pengemis, pasal 504 UHP menyebutkan:

(1)             Berangsiapa mengemis di muka umum diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan maksimum enam minggu;

(2)            Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur di atas 16 tahun diancam dengan pidana kurungan maksimum tiga bulan.

 

Istilah dan definisi

Tidak semua ahli hukum pidana menggunakan lema gelandangan. KUHP karya R. Soesilo (1996), misalnya, menggunakan sebutan ‘pelancongan’ atau ‘mengembara kemana-mana’. Penggunaan istilah pelancongan oleh R. Soesilo dikritik Yusrizal. Dalam tesisnya yang berjudul “Penegakan Hukum dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Suatu Tinjauan Menurut UUD 1945 dan Hukum Pidana), Yusrizal berpendapat istilah pelancongan mempunyai makna sebagai suatu kegiatan jalan-jalan untuk menikmati pemandangan atau berkunjung ke suatu tempat sebagai sarana hiburan.

 

Sebenarnya, Soesilo sudah memberi penjelasan bahwa orang yang berkeliling negeri atau dunia dengan berjalan kaki, meskipun seakan-akan bertualang, tidak masuk pasal ini karena mereka mempunyai mata pencaharian tertentu. Kunci dari pelancongan yang bisa dipidana adalah apabila petualang itu ‘tidak mempunyai mata pencaharian’ (R. Soesilo, 1996: 327).

 

Dalam perkembangannya, peraturan perundang-undangan nasional menggunakan istilah gelandangan, dan sering dipadukan dengan pengemis, sehingga dikenal istilah gepeng.

 

Salah satu peraturan yang langsung menyebut istilah gelandangan dan pengemis adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. PP ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Sosial (sudah diubah menjadi UU No. 11 Tahun 2009)

 

Pasal 1 angka 1 dan angka 2 PP merumuskan:

(1)             Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

(2)            Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

 

Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2007 merumuskan definisi lain:

(1)             Gelandangan adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal layak, pekerjaan tetap, dan hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak sepantasnya menurut aturan dan norma kehidupan masyarakat.

(2)            Pengemis adalah orang yang mencari penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan orang lain.

 

Endang Sastraatmadja, dalam bukunya Dampak Sosial Pembangunan, seperti dikutip Yusrizal, mengartikan gelandangan sebagai sekelompok masyarakat terasing, yang lebih sering ditemukan dalam keadaan tidak lazim seperti di kolong jembatan, lorong-lorong sempit, sekitar rel kereta api atau emperan toko, dan dalam hidupnya terlihat berbeda dari manusia merdeka lainnya.

 

Penanggulangan

Upaya penanggulangan gelandangan dan pengemis berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 terdiri dari upaya:

  1. Preventif
  2. Represif
  3. Rehabilitatif

 

Upaya preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan, serta pembinaan lanjutan kepada para pemangku kepentingan.

 

Upaya represif dimaksudkan untuk menghilangkan gelandangan dan pengemis, serta meluasnya keberadaan mereka di masyarakat. Upayanya meliputi: (i) razia; (ii) penampungan sementara untuk diseleksi; dan (iii) pelimpahan. Seleksi tersebut untuk menetapkan kualifikasi gelandangan untuk menentukan langkah selanjutnya, yang terdiri dari:

  1. Dilepaskan dengan syarat;
  2. Dimasukkan ke panti sosial;
  3. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halaman;
  4. Diserahkan ke proses hukum di pengadilan;
  5. Diberikan pelayanan kesehatan.

 

Upaya rehabilitatif meliputi penyantunan, pemberian diklat, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali ke daerah transmigran atau ke tengah masyarakat dalam rangka pembinaan lebih lanjut agar mereka mempunyai kemampuan untuk hidup secara layak.

 

Penanganan

Regulasi lain yang menyinggung gepeng adalah Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Perkap ini menyinggung tindakan penegakan hukum terhadap gepeng. Tindakan penegakan hukum terhadap gepeng meliputi razia, penampungan sementara untuk diklasifikasi, penyidikan, dan pelimpahan perkara ke pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.

 

Dalam hal gepeng diketahui atau diyakini terlibat dalam tindak pidana, begitu rumusan pasal 10 Perkap, “diambil alih penanganannya oleh Polri untuk diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan”.

 

Jika Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 menggunakan istilah ‘penanggulangan’, Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2007 memakai istilah lema ‘penanganan’.  Penanganan gepeng mengedepankan fungsi Bimbingan Masyarakat (Bimas) di semua level kepolisian.

 

Judicial review

Pada 29 Maret 2012, Mahkamah Konstitusi mulai menyidangkan permohonan judicial review pasal 505 KUHP. Inilah pertama kalinya pasal tentang gelandangan itu dimohon untuk diuji Mahkamah.

 

Pemohonnya adalah Debbie Agustio Pratama, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Debbie menilai pasal 505 KUHP bertentangan dengan UUD 1945, khususnya menyangkut rasa aman dan perlindungan.

 
Leave a comment

Posted by on April 9, 2012 in bahasa hukum

 

Tags: , ,